Pertama
Tuduhan:
Pengumpulan
Al-Qur’an tidaklah berdasarkan ijma’ para sahabt karena Abdullah ibn Mas’ud,
slalh seorang dari sahabat yang mula-mula Islam, menolak penunjukan Zaid ibn
Tsabit menjadi pengumpul Al-Qur’an. Menurut ibn Mas’ud, dia lebih dulu masuk islam daripada Zaid, bahkan pada masa Zaid
masih bermain-main dengan Anak-anak, dia sudah menerima tujuh puluh surat dari
Rasulullah SAW.
Jawab:
Ibnu Mas’ud tidaklah
bermasksud menolak pengumpulan Al-Qur’an dalam sebuah mushaf, atau berbeda
pendapat tentang materi mushaf itu sender; tetapi dia hanya mengklaim lebih
berhak menjadi pengumpul dibandingkan Zaid, karena dia lebih dahulu masuk
Islam. Itupun dikatakanya dalam keadaan marah. Setelah kemarahan reda, dia
mengakui tempatnya pemilihan Zaid untuk tugas tersebut. Bahkan dia menyesal dan
malu. Ibnu Mas’ud menyatakan sebagaimana dikutip abu Wail: “Aku tidaklah lebih
baik daripada mereka. Tidaklah Abu Bakar dan Utsman memilih Zaid kecuali karena
beberapa kelebihan yang di milikinya untuk menyandang tugas mulia ini.
Kelebihan itu di ungkap oleh Ash-Shidiq sendiri kepada Zaid:” Anda seorang
pemuda yang Cerdas, kami percaya kepada anda, dan dulu anda adalah penulis Wahyu
yang ditunjuk Rasulullah SAW. “ Ash-Shiddiq menyebutkan empat sifat yang harus
dimiliki oleh orang yang melaksanakan tugas mulia itu: (1) pemuda, yang tentu
saja memiliki sifat kuat, sabar dan tekun; (2) kecerdasan, yang merupakan
kumpulan beberapa keutamaan; (3) amanah, sifat yang wajib dimiliki oleh siapa
saja yang melaksanakan tugas seperti itu, dan (4) penulis Wahyu. Dengan
demikian sempurnalah kepercayaan kepadanya”.
Untuk menyempurnakan tugas itu
Utsman menugaskan tiga orang diantara sahabat-sahabat yang terpercaya dan
ter’alim untuk membantu Zaid, yaitu Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Ash
(kedua-duanya disepakati status kesahabatanya) dan Abdullah ibn Harits (tidak
disepakati status kesahabatanya, tetapi paling kurang dia adalah tabi’in
senior).
Hal itu tidak berarti Zaid ibn
Tsabit lebih utama daripada Abdullah ibn Mas’ud, Abu Bakar, Utsman dan Ali,
tetapi hanya menunjukan Zaid ibn Tsabit memeang pantas menyandang tugas.
Kedua
Tuduhan:
Tidaklah
seluruh ayat-ayat Al-Qur’an mutawatir, karena Zaid ibn Tsabit pernah mengatakan
bahwa waktu pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dia tidak menemukan
Akhir surat At-Taubah kecuali pada Abu Khuzaimah Al-Anshari, dan pada masa
Utsman tidak menemukan satu ayat Al-Ahzhab kecuali pada Khuzaimah Al-Anshari.
Hal itu berate Zaid mendasarkan pengumpulan Al-Qur’an kepada riwayat Al-Qur’an
kepada beberapa riwayat Ahad, bukan mutawtir seperti yang diklaim oleh kaum
muslimin seluruhnya.
Jawaban:
Pernyataan
Zaid diatas tidaklah bertentangan dengan kemutawatiran Al-Qur’an, karena
pengumpulan Al-Qur’an didasarkan kepada hafalan, sedangkan pengumpulan tulisan
hanyalah untuk menambah nilai kepercayaan terhadap hafalan tersebut. Yang
dimaksud Zaid tidak menemukan ayat tersebut tertulis, bukan tidak menghafalnya.
Bukti bahwa Zaid hafal ayat-ayat tersebut adalah pernyataan dia sendiri: “Tidak
ditemukan sebuah ayat Surat Al-Ahzhab yang pernah aku dengar Rasulullah
membacanya”. Artinya dia hafal dan yakin bahwa itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an,
tetapi tidak menemukan tulisanya, oelh sebab itu dia mencarinya.
Jika
dikatakan bahwa jawaban tersebut berlaku untuk kasus pertama, bagaimana dengan
kasus kedua. Bukankah ayat surat Al-Ahzhab tersebut sudah tertulis pada mushaf
yang ditulis pada masa Abu Bakar? Jawabanya : barangkali tulisan ayat tersebut
sudah kabur, terhapus atau rusak dimakan zaman, oleh sebab itu dia berusaha
mencari sumber tertulisnya yang kemudian dia temukan pada Khuzamah ibnu Tsabit
Al-Anshari. Lagi pula yang jadi ukuran, bukanlah kemutawatiran tulisan (tawatur
kitaby) tetapi kemutawatiran hafalan (tawatur hifzhy).
Ketiga
Tuduhan:
Al-Qur’an
sudah di tambah dari aslinya,dengan alas an Abdullah ibn Mas’ud tidak
menuliskan Al-Mau’izatain di dalam Mushafnya. Menurut dia Nabi SAW hanya
menyuruh berlindung dengan dua mau’izah tersebut. Keduanya menurut ibnu Mas’ud
bukanlah termasuk Kitabullah.
Jawaban:
Riwayat-riwayat
yang menunjukan bahwa Ibnu Mas’ud menolak menuliskanya dalam mushafnya tidak
shahih di nisbahkan kepada beliau. Demikianlah pendapat para Imam temasuk Imam
Nawawi, Ibnu Hazim, Qadhi Abu Bakar dan lain-lain. Qadhi Abu Bakar mengatakan:
“Tidak benar ibnu Mas’ud menolak ke-Qur’anan kedua surat tersebut. Dan tidak
benar pula kalau beliau tidak menghafalnya. Cuma saja beliau menolak
menuliskanya karenamenurut dia tidak dituliskan di dalam mushaf kecuali yang
telah diperintahkan oleh Nabi SAW menuliskanya; padhal beliau tidak menemukanya
tertulis dan Nabi tidak pula memerintahkan menulisanya.
Menurut
Hafizh ibn Hajar riwayat tersebut sahih dari ibnu Mas’ud. Katanya : “ pendapat
yang mengatakan bahwa riwayat tersebut kebohongan terhadap ibnu mas’ud
tertolak. Menuduh Riwayat yang shahi tanpa alas an tidak dapt diterima.
Riwayat-riwayat tersebut shahih, namun dapat ditakwilkan. Al-Qadhi mentawilkan
dengan penolakan penulisanya”.
Kalau
memang riwayat tersebut shahih, maka jawabanya adalah sebagai berikut:
- Tidaklah mesti penolakan Ibnu Mas’ud menuliskan kedua surat tersebut berarti beliau tidak mengakui keduanya bagian dari Al-Qur’an, tetapi bisa juga karena pertimbangan umumnya masyarakat suadh menghafalnya. Dan boleh jadi beliau memaksudkan dengan kitabullah adalh Mushaf.
- Riwayat-riwayat tersebut tergolong Ahad, sehingga tidak bisa menentang mutawatir.sebuah riwayat dinilai mutawatir bukan karena tidak ada yang menentangya, tetapi bila diriwayatkan oleh sejumlah orang yang secara akal mereka mustahil sepakat untuk berdusta. Dengan demikian dugaan Ibnu Mas’ud bahwa kedua surat tersebut bukanlah Al-Qur’an tidak dapat di jadikan alas an ketidak Qur’ananya.
- Penolakan Ibnu Mas’ud itu terjadi sebelum beliau yakin, tetapi setelah beliau mengetahuinya dan meyakininya beliau kembali kepada pendapat jamaah. Bukti paling kuat yang menunjukan bahwa beliau kembali kepada pendapat jamaah adalh para Qura’ dan qiraah mereka berasal dari Ibnu Mas’ud sepakat menyatakan bahwa kedua surat tersebut termasuk Al-Qur’an.
Keempat
Tuduhan:
Ada
beberapa dari Al-Qur’an yang tertulis oleh sebagian sahabat mereka tidak
dituliskan di dalam Al-Qur’an. Buktinya sebagaimana yang diriwayatkan dari
Ubayya ibn Ka’ab bahwa dia menuliskan di dalam mushafnya surat Al-Khala’ dan
Surat Al-Haqad berupa do’a Qunut:
Jawaban:
Kita
tidak dapat menerima bahwa kedua surat tersebut bagian dari Al-Qur’an,
sekalipun kedua surat yang berupa do’a itu tertulis dalam mushaf Ubayya ibn
Ka’ab, karena sebagaimana yang kita ketahui, tidak semua ditulis dalam mushaf
para sahabat bersifat mutawatir; ada yang ahad,
ada yang manasikh tilawah, ada
tafsir, takwil dan ma’tsurat. Di antaranya do’a qunut yang
dibaca oleh sebagian imam witir itu. Keberadaanya dalam mushaf sahabat
tertentu, atau dibacanya di dalam shalat, tidak harus menunjukan bahwa dia
bagian dari Al-Qur’an. Lagi pula bagi ahli sastra Arab akan dapat merasakan betapa
jauhnya balaghah do’a tersebut di
badingkan dengan balaghah Al-Qur’an.
Seklipun
Ubayya misalnyamenganggap do’a yang ditulis dalam mushafnya itu memang bagian
dari Al-Qur’an, maka riwayatnya tersebut tidak lebihdari riwayat ahad zhanni, sehingga tidak dapat
dipertentangkan dengan riwayat mutawatir
qath’i. Untuk dapat di tetapkan sebagai Al-Qur’an riwayat tersebut harus
bersifat mutawatir.
Perlu
juga diingat di sini bahwa semua riwayat ahad
yang mengklaim penambahan atau pengurangan Al-Qur’an tidaklah dapat diterima.
Al-Qur’an haruslah ditetapkan dengan riwayat yang mutawatir.
Kelima
Tuduhan:
Abu
Bakar dan Utsman telah memalsukan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan
menghilangkan banyak ayat dan suratnya. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Malaikat
Jibril sebenarnya berjumlah 17.000 ayat. Keutamaan Ahlul Bait yang terdapat
dalam surat Al-An’am dan Al-Ahzhab dihilangkan mereka berdua, sementara Surat
Al-Wilayah dihilangkan sama sekali dari Al-Qur’an. Dan tuduhan-tuduhan lain
sejenis yang dilontarkan sebagian penganut Syi’ah sebagaimana yang dikutip
Al-Alusi.
Jawaban:
Tudhan
seperti ini tidak mempunyai dasar sama sekali. Kalau semua tuduhan tanpa bukti
dapat diterima tentu umat manusia tidak akan pernah dapat mengetahui kebenaran.
Tuduhan yang seperti dilontarkan oleh penganut syiah yang ekstrim ditolak oleh kalangan
Syi’ah yang masih punya akal sehat seperti At-Thabrasi yang mengatakan dalam Majma Al-Bayan: “Adapun tuduhan bahwa
Al-Qur’an sebenarnya lebih banyak dari yang sekarang disepakati kebatilanya,
sedangkan tuduhan bahwa terjadi pengurangan memang diriwayatkan dari sebagian
kaum kami, tapi yang benartidaklah demikian”.
Kalau
sekiranya memang terjadi penambahan dan pengurangan oleh Abu Bakar dan Utsman,
kenapa Ali karamallahu wajhahu yang
kemudian berkuasa, tidak meluruskanya, padahal semua wilayah islam waktu itu,
kecuali Mesir atau Syam tunduk kepadanya. Waktu itu yang dibaca tetaplah mushaf
yang ditulis pada masa Utsman.
Keenam
Tuduhan:
Telah
tercecer dari Al-Qur’an apa yang seharusnya masuk, sebaliknya telah masuk apa
yang sebenarnya bukanlah Al-Qur’an. Bukti-buktinya sebagai berikut:
- Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “semoga Allah merahmati si Fullan yang telah mengingatkan aku ayat ini, yang telah aku mencecerkanyadari surat ini, dalam riwayat lain disebutkan “aku melupakanya”. Dalam hadits tersebut Nabi mengakui sendiri bahwa beliau telah mencecerkan atau melupakan beberpa bagian dari ayat-ayat.
- Terdapat dalam surat Al-Ala : “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah mmenghendaki” ((Q.S Al-Ala 87:7). Istitsna yang terdapat pada ayat menunjukan bahwa Nabi dengan kehendak Allah bisa saja melupakan beberpa ayat, dan itu terjadi apabila dia tidak mendapatkan orang yang akan mengingatkanya.
- Para Sahabat telah menghapus bebrapa bagian Al-Qur’an yang menurut mereka lebih baik dihapus, seperti ayat mut’ah, Ali ibn Abi Thalib telah menghapus keseluruhanya, sehingga dia memukul siapa saja yang membacanya. Begitu juga ayat do’a qunut (Allahumma inna nasta inuka…) yang ditulis oleh Ubayya ibn Ka’ab di dalam mushafnya tidak terdapat di mushaf sekarang.
- Banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bersumber dari hafalan para shabat, padahal sebagian dari mereka telah gugur dalam beberapa peperangan, sehingga Zaid ibn Tsabit hanya dapat mengumpulkan ayat-ayat yang di hafal oleh para sahabat yang masih hidup. Sedangkan yang tertulis di tulang-tulang dan media lain, ditulis tidak pakai aturan, lagipula sebagian telah hilang. Bila para Ulama mengatakan ada ayat-ayat yang secara lafzhi dinaskh, tetapi hukumnya tetap, suatu ungkapan yang aneh maka yang mereka maksud sebenarnya adalah media tulang tempat ayat tersebut ditulis telah hilang, dan yang tertinggal hanyalah pengertian ayat tesebut.
- Untuk Bani Umayyah, Hajjaj memusnahkan semua mushaf yang ditulis di zaman Utsman kecuali satu mushaf yang kemudian ditambah dan dikuranginya sesuai dengan kepentingan Bani Ummayyah, sesudah itu menyalinya sebanyak enam naskah untuk dikirimkan ke propinsi-propinsi Islam pada waktu itu.
- Ayat : “Tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul telah berlalu sebelumnya para rasul..” adalah kata-kata Abu Bakar yang di ucapkanya pada hari Tsaqifah. Begitu juga ayat : “Dan mereka menjadikan Maqam Ibrahim sebagi tempat shalat..” adalah ucapan Umar yang kemudian sewaktu pengumpulan AL-Qur’an dia di masukan ucapanya itu kedalam mushaf.
Sumber : Buku
Kuliah Ulumul Qur’an (Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., MA.)
ITIQAN
PUBLISHING 2013
No comments:
Post a Comment