Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah dan
Bukan Kepada Fanatisme Mazhab
Salah satu musibah besar yang
menimpa kita di zaman ini dalam hal pengajaran dan fatwa adalah adanya semacam
paksaan agar manusia beribadah hanya dengans satu mazhab dalam semua masalah
ibadah dan mu’amalah. Padahal pendapat mazhab tersebut dalam masalah itu
sangatlah lemah, jauh dari kebenaran, dan memberikan kesempitan pada
hamba-hamba Allah Swt. Seakan-akan pengikut mazhab tertentu adalah
manusia-manusia yang diturunkan wahyu padanya dan mailkat Jibril
mendiketekenya.
Padahal sebenarnya mazhab-mazhab
yang ada itu tak lebih dari hasil pemikiran dan Ijtihad, di mana orang –orang
yang melakukan ijtihad sendiri tidak menyatakan bahwa drinya adalah orang-orang
yang maksum. Jika ia benar dalam ijtihadnya, maka ia akan mendapat dua pahala.
Para imam yang melakukan ijtihad tidak memonopoli kebenaran untuk dirinya
sendiri dan pada saat yang sama dia tidak mengatakan pada manusia bahwa hasil
ijtihadnya adalah sayriat yang wajib untuk diikuti, ataupun agama yang wajib
dilaksanakan.
Imam Malik berkata “sertiap manusia
itu diambil dan dibuang perkataanya kecuali penghuni kubur ini (Rasulullah
Shallahu’Alaihi wasallam).
Imam Syafi’i berkata “pendapatku
adalah benar, namun bisa salah dan pendapat orang lain salah namun ada
kemungkinan benar.”
Dia juga berkata “Jika kau dapatkan
satu hadis yang bertentang dengan apa yang dengan aku katakan, maka
lemparkanlah perkataanku ke tembok.” Bahkan perkataan yang terakhir ini
dinisbatka bukan hanya kepada imam Syaf’i dan Ahmad, yang namun pada keempat
imam, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad yang Mansyur. Dan memang seharusnya
bagi mereka untuk tidak mengatakan
selain ungkapan tadi.
Abu hanifah berkata “Jika ada hadits
yang datang Rasulullah Saw., maka saya patuh tanpa reserve, dan jika
datang dari sahabat maka demikian pula danya, dan jika itu datang dari tabiin,
maka sebenernya mereka itu adalah rijal (laki-laki atau manusia biasa).”
Imam Ahmad berkata “saya merasa aneh
dengan beberapa orang yang mengetahui tentang isnad dan kesahihanya, namun
mereka mengambi pendapat Sufyan – artinya mereka tidak mengambil langsung dari
hadis Rasulullah Saw. – padahal Allah Swt. Berfirman:
Maka
hendaknya orang-orang yang menyalahi perintha Rasul takut akan ditimpa cobaan
atau azab yang pedih. (Qs. Al-Nur [24]:61)
Kami tidak mengingatkan seorang muslim untuk pindah dari satu
mazhab ke mazhab yang lain laksana burung terbang dari satu dahan pohon ke
dahan yang lain, mengambil mazhab sesuai dengan keinginan nafsunya tanpa
bersandar pada pokok agama dan hujjah yang kuat. Tidak demikian, yang kami
maksud dan kami inginkan adalah agar seorang Muslim mengikuti dalil, dan tunduk
pada hukum yang kuat hujjahnya, dan hati tenang denganya serta sesuai dengan
kaidah-kaidah syariat dan roh islam. Dan inilah yang dilakukan para ulama
salafu shali sebelum menebarnya mazhab dan para pengikutnya, dan sebelum
terjadinya gelombang talkid.
Lalu mengapa kita mewajibkan pada manusia
sesuatu yang Allah Swt. Sendiri tidak mewajibkan, dan kita membebani mereka
untuk mengikuti satu mazhab dan iman tertentu dalam semua masalah agama lalu
mengapa kita tidak perkenankan mereka untuk bersikap netral dan kita
mempersulit mereka dengan sesuatu yang tidak Allah Swt. Sukai?
Jika seorang da’i telah menyatakan
diri menganut salah satu mazhab maka janganlah ini menghalanginya untuk
berkenalan dengan dalil-dalil lain agar semakin tenang hati dan kalbunya dan
tidak ada halangan baginya untuk meninggalkan pendapat mazhab dalam beberapa
masala dimana ia merasakan ada kelemahan-kelemahan dalil dalam mazhab itu dan
ia dapatkan dalil yang lebih kuat pada mazhab dan pendapat yang lain. Karena
telah diriwayatkan dari para imam mazhab bahwa mereka berkata “jika ada satu
hadis yang shahih, maka itulah mazhabku.
Dan tidak boleh bagi seseorang da’i
untuk memnnggalkan sebuah hadis yang jelas-jelas shahihnya, dengan alasan
bahwasanya dia terikat dengan mazhab yang dianutnya, sebagaimana kita lihat
bahwa ada beberapa khatib jumat yang berada di atas mimbar yang menyruruh
orang-orang yang masuk ke dalam masjid untuk duduk pada saat mereka ingin
melakukan shalat sunnah Thahiyyat Al-Masjid.
Padahal dalam seuah hadis yang
diriwayatkan oleh imam Muslim disebutkan dari Jabir Bin Abdullah
Rhadiyallahu”Anhuma dia berkata “Salik Al-Ghatfani datang untuk menunaikan
shala jum’at, dan pada waktu itu Rasulullah Saw. Duduk diatas mimbar. Maka
duduklah Salik sebelum ia melakukan shalat Sunnah Tahiyat Al-Masjid. Rasulullah
Saw. Berkata
“apakah
kamu telahmelakukan shalat dua rakaat?" Salik Menjawab “Belum” Rasululllah
berkata "bangunlah dan shalatlah 2 rakaat”.
Sumber : Pengantar Ilmu Dakwah Drs. Wahidin Saputro, M.A.
No comments:
Post a Comment