Thursday, June 25, 2015

Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah dan Bukan Kepada Fanatisme Mazhab




Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah dan
Bukan Kepada Fanatisme Mazhab

            Salah satu musibah besar yang menimpa kita di zaman ini dalam hal pengajaran dan fatwa adalah adanya semacam paksaan agar manusia beribadah hanya dengans satu mazhab dalam semua masalah ibadah dan mu’amalah. Padahal pendapat mazhab tersebut dalam masalah itu sangatlah lemah, jauh dari kebenaran, dan memberikan kesempitan pada hamba-hamba Allah Swt. Seakan-akan pengikut mazhab tertentu adalah manusia-manusia yang diturunkan wahyu padanya dan mailkat Jibril mendiketekenya.

            Padahal sebenarnya mazhab-mazhab yang ada itu tak lebih dari hasil pemikiran dan Ijtihad, di mana orang –orang yang melakukan ijtihad sendiri tidak menyatakan bahwa drinya adalah orang-orang yang maksum. Jika ia benar dalam ijtihadnya, maka ia akan mendapat dua pahala. Para imam yang melakukan ijtihad tidak memonopoli kebenaran untuk dirinya sendiri dan pada saat yang sama dia tidak mengatakan pada manusia bahwa hasil ijtihadnya adalah sayriat yang wajib untuk diikuti, ataupun agama yang wajib dilaksanakan.

            Imam Malik berkata “sertiap manusia itu diambil dan dibuang perkataanya kecuali penghuni kubur ini (Rasulullah Shallahu’Alaihi wasallam).

            Imam Syafi’i berkata “pendapatku adalah benar, namun bisa salah dan pendapat orang lain salah namun ada kemungkinan benar.”

            Dia juga berkata “Jika kau dapatkan satu hadis yang bertentang dengan apa yang dengan aku katakan, maka lemparkanlah perkataanku ke tembok.” Bahkan perkataan yang terakhir ini dinisbatka bukan hanya kepada imam Syaf’i dan Ahmad, yang namun pada keempat imam, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad yang Mansyur. Dan memang seharusnya bagi mereka  untuk tidak mengatakan selain ungkapan tadi.

            Abu hanifah berkata “Jika ada hadits yang datang Rasulullah Saw., maka saya patuh tanpa reserve, dan jika datang dari sahabat maka demikian pula danya, dan jika itu datang dari tabiin, maka sebenernya mereka itu adalah rijal (laki-laki atau manusia biasa).”

            Imam Ahmad berkata “saya merasa aneh dengan beberapa orang yang mengetahui tentang isnad dan kesahihanya, namun mereka mengambi pendapat Sufyan – artinya mereka tidak mengambil langsung dari hadis Rasulullah Saw. – padahal Allah Swt. Berfirman:

Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintha Rasul takut akan ditimpa cobaan atau azab yang pedih. (Qs. Al-Nur [24]:61)

Kami tidak mengingatkan seorang muslim untuk pindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain laksana burung terbang dari satu dahan pohon ke dahan yang lain, mengambil mazhab sesuai dengan keinginan nafsunya tanpa bersandar pada pokok agama dan hujjah yang kuat. Tidak demikian, yang kami maksud dan kami inginkan adalah agar seorang Muslim mengikuti dalil, dan tunduk pada hukum yang kuat hujjahnya, dan hati tenang denganya serta sesuai dengan kaidah-kaidah syariat dan roh islam. Dan inilah yang dilakukan para ulama salafu shali sebelum menebarnya mazhab dan para pengikutnya, dan sebelum terjadinya gelombang talkid.

             Lalu mengapa kita mewajibkan pada manusia sesuatu yang Allah Swt. Sendiri tidak mewajibkan, dan kita membebani mereka untuk mengikuti satu mazhab dan iman tertentu dalam semua masalah agama lalu mengapa kita tidak perkenankan mereka untuk bersikap netral dan kita mempersulit mereka dengan sesuatu yang tidak Allah Swt. Sukai?

            Jika seorang da’i telah menyatakan diri menganut salah satu mazhab maka janganlah ini menghalanginya untuk berkenalan dengan dalil-dalil lain agar semakin tenang hati dan kalbunya dan tidak ada halangan baginya untuk meninggalkan pendapat mazhab dalam beberapa masala dimana ia merasakan ada kelemahan-kelemahan dalil dalam mazhab itu dan ia dapatkan dalil yang lebih kuat pada mazhab dan pendapat yang lain. Karena telah diriwayatkan dari para imam mazhab bahwa mereka berkata “jika ada satu hadis yang shahih, maka itulah mazhabku.

            Dan tidak boleh bagi seseorang da’i untuk memnnggalkan sebuah hadis yang jelas-jelas shahihnya, dengan alasan bahwasanya dia terikat dengan mazhab yang dianutnya, sebagaimana kita lihat bahwa ada beberapa khatib jumat yang berada di atas mimbar yang menyruruh orang-orang yang masuk ke dalam masjid untuk duduk pada saat mereka ingin melakukan shalat sunnah Thahiyyat Al-Masjid.

            Padahal dalam seuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim disebutkan dari Jabir Bin Abdullah Rhadiyallahu”Anhuma dia berkata “Salik Al-Ghatfani datang untuk menunaikan shala jum’at, dan pada waktu itu Rasulullah Saw. Duduk diatas mimbar. Maka duduklah Salik sebelum ia melakukan shalat Sunnah Tahiyat Al-Masjid. Rasulullah Saw. Berkata
apakah kamu telahmelakukan shalat dua rakaat?" Salik Menjawab “Belum” Rasululllah berkata "bangunlah dan shalatlah 2 rakaat”.

Sumber : Pengantar Ilmu Dakwah Drs. Wahidin Saputro, M.A.

No comments:

Post a Comment

MERASA AMAN DARI SIKSA ALLAH سبحانه و تعالى DAN MEREMEHKAN DOSA

MERASA AMAN DARI SIKSA ALLAH سبحانه و تعالى DAN MEREMEHKAN DOSA Setiap dosa yang dilakukan oleh setiap hamba baik itu dosa kecil maup...