SANG PENCERAH
Pada tahun 2010, sinaes muda Hanung Bramantyo
menggarap film sejarah 'Sang Pencerah', yang merupakan kisah biografi
pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Meski mendulang kontroversi, film
tersebut ditonton oleh lebih dari satu juta orang dan menjadi film
terlaris sepanjang tahun 2010.
Namun, meski menjadi film paling laris pada 2010, tidak lantas membuat film ini berjaya di ajang FFI 2010. Hanung sudah mendaftarkan film tersebut di ajang FFI. Namun oleh panitia FFI 2010 film tersebut dinyatakan tidak lolos. Menurut juri FFI saat jumpa pers, Sang Pencerah tidak lolos lantaran ada beberapa adegan dalam film tersebut yang tidak sesuai dengan sejarah. Menurut salah seorang sutradara film, Robby Ertanto, film Sang Pencerah bagus dari sisi penyampaiannya. "Secara story telling bagus," ujar dia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (24/5) malam.
Film tersebut juga detil menggambarkan kondisi Yogyakarta pada masa tahun 1.800-an. Film yang konon berbiaya hingga Rp 12 miliar tersebut juga megah dalam sisi kostum, latar, serta properti yang digunakan. Kesan masa lampaunya juga sangat terasa.
Meski banyak pujian, film ini juga mengundang kritikan. Tampilan gambarnya yang terkesan agak gelap membuat tokoh-tokoh figuran tidak tampak secara jelas. Kondisi Yogyakarta yang ditampilkan pada film itu juga dianggap kurang detil, seperti yang diucapkan oleh Menpora yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR, Roy Suryo.
"Saya sudah nonton filmnya. Tampaknya next time Hanung Bramantyo perlu lebih cermat dalam detail-detail, khususnya sejarah Yogya di film tersebut," ujar Roy dalam SMS-nya kepada KapanLagi.com Minggu (19/09/2010) lalu.
Roy memberi contoh, latar belakang kota Yogya menurutnya tidak mirip dengan yang ada di film yang dibuat di daerah Kauman, Yogyakarta itu.
"100 tahun yang lalu, bukan seperti itu kota Yogya. Sebagai contoh, Tugu Yogya yang tidak proporsional karena terlalu kecil. Jalan-jalan di Yogya juga enggak kecil, dan masih ada hutannya. Enggak seperti itu," imbuh Roy.
Sang Pencerah juga banyak mendapatkan kritikan lantaran film ini mengkritik tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih menggabungkan acara-acara tradisi dengan keagamaan, dimana hal itu saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, seperti acara 40 hari meninggalnya seseorang, atau memberikan sesaji dan lain sebagainya.
Film ini menjadikan sejarah sebagai pelajaran pada masa kini tentang toleransi, koeksistensi (bekerjasama dengan yang berbeda keyakinan), kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang. Sang Pencerah mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Ia memperkenalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional. Versi novel kisah ini ditulis oleh wartawan-sastrawan Akmal Nasery Basral, dan mendapat predikat Fiksi Terbaik Islamic Book Fair Award 2011.
Namun, meski menjadi film paling laris pada 2010, tidak lantas membuat film ini berjaya di ajang FFI 2010. Hanung sudah mendaftarkan film tersebut di ajang FFI. Namun oleh panitia FFI 2010 film tersebut dinyatakan tidak lolos. Menurut juri FFI saat jumpa pers, Sang Pencerah tidak lolos lantaran ada beberapa adegan dalam film tersebut yang tidak sesuai dengan sejarah. Menurut salah seorang sutradara film, Robby Ertanto, film Sang Pencerah bagus dari sisi penyampaiannya. "Secara story telling bagus," ujar dia saat dihubungi merdeka.com, Jumat (24/5) malam.
Film tersebut juga detil menggambarkan kondisi Yogyakarta pada masa tahun 1.800-an. Film yang konon berbiaya hingga Rp 12 miliar tersebut juga megah dalam sisi kostum, latar, serta properti yang digunakan. Kesan masa lampaunya juga sangat terasa.
Meski banyak pujian, film ini juga mengundang kritikan. Tampilan gambarnya yang terkesan agak gelap membuat tokoh-tokoh figuran tidak tampak secara jelas. Kondisi Yogyakarta yang ditampilkan pada film itu juga dianggap kurang detil, seperti yang diucapkan oleh Menpora yang saat itu masih menjabat sebagai anggota DPR, Roy Suryo.
"Saya sudah nonton filmnya. Tampaknya next time Hanung Bramantyo perlu lebih cermat dalam detail-detail, khususnya sejarah Yogya di film tersebut," ujar Roy dalam SMS-nya kepada KapanLagi.com Minggu (19/09/2010) lalu.
Roy memberi contoh, latar belakang kota Yogya menurutnya tidak mirip dengan yang ada di film yang dibuat di daerah Kauman, Yogyakarta itu.
"100 tahun yang lalu, bukan seperti itu kota Yogya. Sebagai contoh, Tugu Yogya yang tidak proporsional karena terlalu kecil. Jalan-jalan di Yogya juga enggak kecil, dan masih ada hutannya. Enggak seperti itu," imbuh Roy.
Sang Pencerah juga banyak mendapatkan kritikan lantaran film ini mengkritik tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih menggabungkan acara-acara tradisi dengan keagamaan, dimana hal itu saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, seperti acara 40 hari meninggalnya seseorang, atau memberikan sesaji dan lain sebagainya.
Film ini menjadikan sejarah sebagai pelajaran pada masa kini tentang toleransi, koeksistensi (bekerjasama dengan yang berbeda keyakinan), kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang. Sang Pencerah mengungkapkan sosok pahlawan nasional itu dari sisi yang tidak banyak diketahui publik. Selain mendirikan organisasi Islam Muhammadiyah, lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Ia memperkenalkan wajah Islam yang modern, terbuka, serta rasional. Versi novel kisah ini ditulis oleh wartawan-sastrawan Akmal Nasery Basral, dan mendapat predikat Fiksi Terbaik Islamic Book Fair Award 2011.
Sinopsis
Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Muhammad Ihsan Tarore)
mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun
yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah
sesat, Syirik dan Bid'ah.
Dengan sebuah kompas, dia menunjukkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka'bah di Mekah, melainkan ke Afrika. Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kyai Penghulu Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo),
meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota
Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama
berabad-abad lampau.
Walaupun usul perubahan arah kiblat ini ditolak, melalui suraunya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah. Ahmad Dahlan dianggap mengajarkan aliran sesat, menghasut dan merusak kewibawaan Keraton dan Masjid Besar.
Bukan sekali ini Ahmad Dahlan membuat para kyai naik darah. Dalam
khotbah pertamanya sebagai khatib, dia menyindir kebiasaan penduduk di
kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta.
"Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang dibutuhkan, tak perlu
kiai, ketip, apalagi sesajen," katanya. Walhasil, Dahlan dimusuhi.
Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan
mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap
menyebarkan aliran sesat.
Dahlan, yang piawai bermain biola, dianggap kontroversial. Ahmad
Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir karena membuka sekolah yang
menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda,
serta mengajar agama Islam di Kweekschool atau sekolah para bangsawan di Jetis, Yogyakarta.
Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan priyayi Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Ganesha), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adhiswara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif),
Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik
umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
[cob]
Sumber:
http://www.merdeka.com/peristiwa/mengintip-sejarah-dari-sang-kiai-dan-sang-pencerah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Pencerah
http://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Pencerah
No comments:
Post a Comment