Friday, June 26, 2015

PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA



REVIEW PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA
(Yang Ditulis Oleh; Marzuki UNY)


Pengertian Hukum Pidanan Islam

Istilah hukum Islam dari tiga kata dasar, yaitu ‘hukum’,’pidana’, dan,’Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan (1) peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otorits; (2) undang-undang, peraturan, dsb. Untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat ; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.) yang tertetu; dan (4) keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis (Tim Penyusun kamus, 1997: 360). Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dala masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakakn oleh penguasa (M. Daud Ali, 1996: 38). Dalam ujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Kata yang kedua, yaitu ‘pidana’, berarti kejahatan, (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lain sebagainya); kriminal (Tim Penyusun Kamus, 1997: 871). Adapun kata yang ketiga, yaitu ‘islam’, oleh Mahmud Syaltut didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariat ya dan juga mendakwahkanya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya (Syaltut, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Unutk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam. Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Isla merupakan seperangkat arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Islam merupakan seerangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. Untuk mengatur kejahatan manusia ditengah-tengah masyarakat. Dengan kelimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut al-ahkam al-jinayyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukkalaf dan hukuman-hukuman baginya (Khallaf, 1978: 32). Para ulama menggunakan istilah Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (Hukuman yang ada ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll). Atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana, dll). Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta’zir (A. Jazuli, 2000: 2). Istilah lain yang identik dengan jinayah adalah jarimah.

Konsep Pemberlakukan Hukum Pidana Islam

Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujuda juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta (Bakri, 1996: 71).

Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalail al-Qur’an dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyah al-khamsah (lima Kebutuhan pokok). Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus hukumnya) dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di antara ayat-ayat iu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar ayat-ayat itulah, maka al-Syathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya lima kebuthan pokok manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) dalam arti dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum (Djamil, 1997: 125-126).

Thursday, June 25, 2015

Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah dan Bukan Kepada Fanatisme Mazhab




Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah dan
Bukan Kepada Fanatisme Mazhab

            Salah satu musibah besar yang menimpa kita di zaman ini dalam hal pengajaran dan fatwa adalah adanya semacam paksaan agar manusia beribadah hanya dengans satu mazhab dalam semua masalah ibadah dan mu’amalah. Padahal pendapat mazhab tersebut dalam masalah itu sangatlah lemah, jauh dari kebenaran, dan memberikan kesempitan pada hamba-hamba Allah Swt. Seakan-akan pengikut mazhab tertentu adalah manusia-manusia yang diturunkan wahyu padanya dan mailkat Jibril mendiketekenya.

            Padahal sebenarnya mazhab-mazhab yang ada itu tak lebih dari hasil pemikiran dan Ijtihad, di mana orang –orang yang melakukan ijtihad sendiri tidak menyatakan bahwa drinya adalah orang-orang yang maksum. Jika ia benar dalam ijtihadnya, maka ia akan mendapat dua pahala. Para imam yang melakukan ijtihad tidak memonopoli kebenaran untuk dirinya sendiri dan pada saat yang sama dia tidak mengatakan pada manusia bahwa hasil ijtihadnya adalah sayriat yang wajib untuk diikuti, ataupun agama yang wajib dilaksanakan.

            Imam Malik berkata “sertiap manusia itu diambil dan dibuang perkataanya kecuali penghuni kubur ini (Rasulullah Shallahu’Alaihi wasallam).

            Imam Syafi’i berkata “pendapatku adalah benar, namun bisa salah dan pendapat orang lain salah namun ada kemungkinan benar.”

            Dia juga berkata “Jika kau dapatkan satu hadis yang bertentang dengan apa yang dengan aku katakan, maka lemparkanlah perkataanku ke tembok.” Bahkan perkataan yang terakhir ini dinisbatka bukan hanya kepada imam Syaf’i dan Ahmad, yang namun pada keempat imam, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad yang Mansyur. Dan memang seharusnya bagi mereka  untuk tidak mengatakan selain ungkapan tadi.

            Abu hanifah berkata “Jika ada hadits yang datang Rasulullah Saw., maka saya patuh tanpa reserve, dan jika datang dari sahabat maka demikian pula danya, dan jika itu datang dari tabiin, maka sebenernya mereka itu adalah rijal (laki-laki atau manusia biasa).”

            Imam Ahmad berkata “saya merasa aneh dengan beberapa orang yang mengetahui tentang isnad dan kesahihanya, namun mereka mengambi pendapat Sufyan – artinya mereka tidak mengambil langsung dari hadis Rasulullah Saw. – padahal Allah Swt. Berfirman:

Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintha Rasul takut akan ditimpa cobaan atau azab yang pedih. (Qs. Al-Nur [24]:61)

Kami tidak mengingatkan seorang muslim untuk pindah dari satu mazhab ke mazhab yang lain laksana burung terbang dari satu dahan pohon ke dahan yang lain, mengambil mazhab sesuai dengan keinginan nafsunya tanpa bersandar pada pokok agama dan hujjah yang kuat. Tidak demikian, yang kami maksud dan kami inginkan adalah agar seorang Muslim mengikuti dalil, dan tunduk pada hukum yang kuat hujjahnya, dan hati tenang denganya serta sesuai dengan kaidah-kaidah syariat dan roh islam. Dan inilah yang dilakukan para ulama salafu shali sebelum menebarnya mazhab dan para pengikutnya, dan sebelum terjadinya gelombang talkid.

             Lalu mengapa kita mewajibkan pada manusia sesuatu yang Allah Swt. Sendiri tidak mewajibkan, dan kita membebani mereka untuk mengikuti satu mazhab dan iman tertentu dalam semua masalah agama lalu mengapa kita tidak perkenankan mereka untuk bersikap netral dan kita mempersulit mereka dengan sesuatu yang tidak Allah Swt. Sukai?

            Jika seorang da’i telah menyatakan diri menganut salah satu mazhab maka janganlah ini menghalanginya untuk berkenalan dengan dalil-dalil lain agar semakin tenang hati dan kalbunya dan tidak ada halangan baginya untuk meninggalkan pendapat mazhab dalam beberapa masala dimana ia merasakan ada kelemahan-kelemahan dalil dalam mazhab itu dan ia dapatkan dalil yang lebih kuat pada mazhab dan pendapat yang lain. Karena telah diriwayatkan dari para imam mazhab bahwa mereka berkata “jika ada satu hadis yang shahih, maka itulah mazhabku.

            Dan tidak boleh bagi seseorang da’i untuk memnnggalkan sebuah hadis yang jelas-jelas shahihnya, dengan alasan bahwasanya dia terikat dengan mazhab yang dianutnya, sebagaimana kita lihat bahwa ada beberapa khatib jumat yang berada di atas mimbar yang menyruruh orang-orang yang masuk ke dalam masjid untuk duduk pada saat mereka ingin melakukan shalat sunnah Thahiyyat Al-Masjid.

            Padahal dalam seuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim disebutkan dari Jabir Bin Abdullah Rhadiyallahu”Anhuma dia berkata “Salik Al-Ghatfani datang untuk menunaikan shala jum’at, dan pada waktu itu Rasulullah Saw. Duduk diatas mimbar. Maka duduklah Salik sebelum ia melakukan shalat Sunnah Tahiyat Al-Masjid. Rasulullah Saw. Berkata
apakah kamu telahmelakukan shalat dua rakaat?" Salik Menjawab “Belum” Rasululllah berkata "bangunlah dan shalatlah 2 rakaat”.

Sumber : Pengantar Ilmu Dakwah Drs. Wahidin Saputro, M.A.

Monday, June 8, 2015

BEBERAPA TUDUHAN DAN JAWABAN SEKITAR PENGUMPULAN AL-QUR’AN


Ada beberapa tuduhan (syubuhat) yang di lontarkan oleh beberapa orientalis tentang pengumulan Al-Qur’an yang kalo di kumpulkan ada 12 tuduhan. Karena terbatasnya ruangan penulis terpaksa hanya menyajikan 6 tuduhan tersebut.


Pertama

Tuduhan:
Pengumpulan Al-Qur’an tidaklah berdasarkan ijma’ para sahabt karena Abdullah ibn Mas’ud, slalh seorang dari sahabat yang mula-mula Islam, menolak penunjukan Zaid ibn Tsabit menjadi pengumpul Al-Qur’an. Menurut ibn Mas’ud, dia lebih dulu masuk  islam daripada Zaid, bahkan pada masa Zaid masih bermain-main dengan Anak-anak, dia sudah menerima tujuh puluh surat dari Rasulullah SAW.

Jawab:

Ibnu Mas’ud tidaklah bermasksud menolak pengumpulan Al-Qur’an dalam sebuah mushaf, atau berbeda pendapat tentang materi mushaf itu sender; tetapi dia hanya mengklaim lebih berhak menjadi pengumpul dibandingkan Zaid, karena dia lebih dahulu masuk Islam. Itupun dikatakanya dalam keadaan marah. Setelah kemarahan reda, dia mengakui tempatnya pemilihan Zaid untuk tugas tersebut. Bahkan dia menyesal dan malu. Ibnu Mas’ud menyatakan sebagaimana dikutip abu Wail: “Aku tidaklah lebih baik daripada mereka. Tidaklah Abu Bakar dan Utsman memilih Zaid kecuali karena beberapa kelebihan yang di milikinya untuk menyandang tugas mulia ini. Kelebihan itu di ungkap oleh Ash-Shidiq sendiri kepada Zaid:” Anda seorang pemuda yang Cerdas, kami percaya kepada anda, dan dulu anda adalah penulis Wahyu yang ditunjuk Rasulullah SAW. “ Ash-Shiddiq menyebutkan empat sifat yang harus dimiliki oleh orang yang melaksanakan tugas mulia itu: (1) pemuda, yang tentu saja memiliki sifat kuat, sabar dan tekun; (2) kecerdasan, yang merupakan kumpulan beberapa keutamaan; (3) amanah, sifat yang wajib dimiliki oleh siapa saja yang melaksanakan tugas seperti itu, dan (4) penulis Wahyu. Dengan demikian sempurnalah kepercayaan kepadanya”.
 
            Untuk menyempurnakan tugas itu Utsman menugaskan tiga orang diantara sahabat-sahabat yang terpercaya dan ter’alim untuk membantu Zaid, yaitu Abdullah ibn Zubair, Sa’ad ibn Ash (kedua-duanya disepakati status kesahabatanya) dan Abdullah ibn Harits (tidak disepakati status kesahabatanya, tetapi paling kurang dia adalah tabi’in senior).

            Hal itu tidak berarti Zaid ibn Tsabit lebih utama daripada Abdullah ibn Mas’ud, Abu Bakar, Utsman dan Ali, tetapi hanya menunjukan Zaid ibn Tsabit memeang pantas menyandang tugas.

Kedua

Tuduhan:
Tidaklah seluruh ayat-ayat Al-Qur’an mutawatir, karena Zaid ibn Tsabit pernah mengatakan bahwa waktu pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar, dia tidak menemukan Akhir surat At-Taubah kecuali pada Abu Khuzaimah Al-Anshari, dan pada masa Utsman tidak menemukan satu ayat Al-Ahzhab kecuali pada Khuzaimah Al-Anshari. Hal itu berate Zaid mendasarkan pengumpulan Al-Qur’an kepada riwayat Al-Qur’an kepada beberapa riwayat Ahad, bukan mutawtir seperti yang diklaim oleh kaum muslimin seluruhnya.

Jawaban:

Pernyataan Zaid diatas tidaklah bertentangan dengan kemutawatiran Al-Qur’an, karena pengumpulan Al-Qur’an didasarkan kepada hafalan, sedangkan pengumpulan tulisan hanyalah untuk menambah nilai kepercayaan terhadap hafalan tersebut. Yang dimaksud Zaid tidak menemukan ayat tersebut tertulis, bukan tidak menghafalnya. Bukti bahwa Zaid hafal ayat-ayat tersebut adalah pernyataan dia sendiri: “Tidak ditemukan sebuah ayat Surat Al-Ahzhab yang pernah aku dengar Rasulullah membacanya”. Artinya dia hafal dan yakin bahwa itu adalah ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi tidak menemukan tulisanya, oelh sebab itu dia mencarinya.

Jika dikatakan bahwa jawaban tersebut berlaku untuk kasus pertama, bagaimana dengan kasus kedua. Bukankah ayat surat Al-Ahzhab tersebut sudah tertulis pada mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar? Jawabanya : barangkali tulisan ayat tersebut sudah kabur, terhapus atau rusak dimakan zaman, oleh sebab itu dia berusaha mencari sumber tertulisnya yang kemudian dia temukan pada Khuzamah ibnu Tsabit Al-Anshari. Lagi pula yang jadi ukuran, bukanlah kemutawatiran tulisan (tawatur kitaby) tetapi kemutawatiran hafalan (tawatur hifzhy).

Ketiga

Tuduhan:
Al-Qur’an sudah di tambah dari aslinya,dengan alas an Abdullah ibn Mas’ud tidak menuliskan Al-Mau’izatain di dalam Mushafnya. Menurut dia Nabi SAW hanya menyuruh berlindung dengan dua mau’izah tersebut. Keduanya menurut ibnu Mas’ud bukanlah termasuk Kitabullah.

Jawaban:

Riwayat-riwayat yang menunjukan bahwa Ibnu Mas’ud menolak menuliskanya dalam mushafnya tidak shahih di nisbahkan kepada beliau. Demikianlah pendapat para Imam temasuk Imam Nawawi, Ibnu Hazim, Qadhi Abu Bakar dan lain-lain. Qadhi Abu Bakar mengatakan: “Tidak benar ibnu Mas’ud menolak ke-Qur’anan kedua surat tersebut. Dan tidak benar pula kalau beliau tidak menghafalnya. Cuma saja beliau menolak menuliskanya karenamenurut dia tidak dituliskan di dalam mushaf kecuali yang telah diperintahkan oleh Nabi SAW menuliskanya; padhal beliau tidak menemukanya tertulis dan Nabi tidak pula memerintahkan menulisanya.

Menurut Hafizh ibn Hajar riwayat tersebut sahih dari ibnu Mas’ud. Katanya : “ pendapat yang mengatakan bahwa riwayat tersebut kebohongan terhadap ibnu mas’ud tertolak. Menuduh Riwayat yang shahi tanpa alas an tidak dapt diterima. Riwayat-riwayat tersebut shahih, namun dapat ditakwilkan. Al-Qadhi mentawilkan dengan penolakan penulisanya”.

Kalau memang riwayat tersebut shahih, maka jawabanya adalah sebagai berikut:
  • Tidaklah mesti penolakan Ibnu Mas’ud menuliskan kedua surat tersebut berarti beliau tidak mengakui keduanya bagian dari Al-Qur’an, tetapi bisa juga karena pertimbangan umumnya masyarakat suadh menghafalnya. Dan boleh jadi beliau memaksudkan dengan kitabullah adalh Mushaf.
  • Riwayat-riwayat tersebut tergolong Ahad, sehingga tidak bisa menentang mutawatir.sebuah riwayat dinilai mutawatir bukan karena tidak ada yang menentangya, tetapi bila diriwayatkan oleh sejumlah orang yang secara akal mereka mustahil sepakat untuk berdusta. Dengan demikian dugaan Ibnu Mas’ud bahwa kedua surat tersebut bukanlah Al-Qur’an tidak dapat di jadikan alas an ketidak Qur’ananya.
  • Penolakan Ibnu Mas’ud itu terjadi sebelum beliau yakin, tetapi setelah beliau mengetahuinya dan meyakininya beliau kembali kepada pendapat jamaah. Bukti paling kuat yang menunjukan bahwa beliau kembali kepada pendapat jamaah adalh para Qura’ dan qiraah mereka berasal dari Ibnu Mas’ud sepakat menyatakan bahwa kedua surat tersebut termasuk Al-Qur’an.
Keempat
Tuduhan:
Ada beberapa dari Al-Qur’an yang tertulis oleh sebagian sahabat mereka tidak dituliskan di dalam Al-Qur’an. Buktinya sebagaimana yang diriwayatkan dari Ubayya ibn Ka’ab bahwa dia menuliskan di dalam mushafnya surat Al-Khala’ dan Surat Al-Haqad berupa do’a Qunut:

Jawaban:

Kita tidak dapat menerima bahwa kedua surat tersebut bagian dari Al-Qur’an, sekalipun kedua surat yang berupa do’a itu tertulis dalam mushaf Ubayya ibn Ka’ab, karena sebagaimana yang kita ketahui, tidak semua ditulis dalam mushaf para sahabat bersifat mutawatir; ada yang ahad, ada yang manasikh tilawah, ada tafsir, takwil dan ma’tsurat. Di antaranya do’a qunut yang dibaca oleh sebagian imam witir itu. Keberadaanya dalam mushaf sahabat tertentu, atau dibacanya di dalam shalat, tidak harus menunjukan bahwa dia bagian dari Al-Qur’an. Lagi pula bagi ahli sastra Arab akan dapat merasakan betapa jauhnya balaghah do’a tersebut di badingkan dengan balaghah Al-Qur’an.

Seklipun Ubayya misalnyamenganggap do’a yang ditulis dalam mushafnya itu memang bagian dari Al-Qur’an, maka riwayatnya tersebut tidak lebihdari riwayat ahad zhanni, sehingga tidak dapat dipertentangkan dengan riwayat mutawatir qath’i. Untuk dapat di tetapkan sebagai Al-Qur’an riwayat tersebut harus bersifat mutawatir.

Perlu juga diingat di sini bahwa semua riwayat ahad yang mengklaim penambahan atau pengurangan Al-Qur’an tidaklah dapat diterima. Al-Qur’an haruslah ditetapkan dengan riwayat yang mutawatir.

Kelima

Tuduhan:

Abu Bakar dan Utsman telah memalsukan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an dan menghilangkan banyak ayat dan suratnya. Al-Qur’an yang diturunkan oleh Malaikat Jibril sebenarnya berjumlah 17.000 ayat. Keutamaan Ahlul Bait yang terdapat dalam surat Al-An’am dan Al-Ahzhab dihilangkan mereka berdua, sementara Surat Al-Wilayah dihilangkan sama sekali dari Al-Qur’an. Dan tuduhan-tuduhan lain sejenis yang dilontarkan sebagian penganut Syi’ah sebagaimana yang dikutip Al-Alusi.

Jawaban:

Tudhan seperti ini tidak mempunyai dasar sama sekali. Kalau semua tuduhan tanpa bukti dapat diterima tentu umat manusia tidak akan pernah dapat mengetahui kebenaran. Tuduhan yang seperti dilontarkan oleh penganut syiah yang ekstrim ditolak oleh kalangan Syi’ah yang masih punya akal sehat seperti At-Thabrasi yang mengatakan dalam Majma Al-Bayan: “Adapun tuduhan bahwa Al-Qur’an sebenarnya lebih banyak dari yang sekarang disepakati kebatilanya, sedangkan tuduhan bahwa terjadi pengurangan memang diriwayatkan dari sebagian kaum kami, tapi yang benartidaklah demikian”.

Kalau sekiranya memang terjadi penambahan dan pengurangan oleh Abu Bakar dan Utsman, kenapa Ali karamallahu wajhahu yang kemudian berkuasa, tidak meluruskanya, padahal semua wilayah islam waktu itu, kecuali Mesir atau Syam tunduk kepadanya. Waktu itu yang dibaca tetaplah mushaf yang ditulis pada masa Utsman.

Keenam

Tuduhan:
Telah tercecer dari Al-Qur’an apa yang seharusnya masuk, sebaliknya telah masuk apa yang sebenarnya bukanlah Al-Qur’an. Bukti-buktinya sebagai berikut:

  • Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “semoga Allah merahmati si Fullan yang telah mengingatkan aku ayat ini, yang telah aku mencecerkanyadari surat ini, dalam riwayat lain disebutkan “aku melupakanya”. Dalam hadits tersebut Nabi mengakui sendiri bahwa beliau telah mencecerkan atau melupakan beberpa bagian dari ayat-ayat.
  • Terdapat dalam surat Al-Ala : “Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. Kecuali kalau Allah mmenghendaki” ((Q.S Al-Ala 87:7). Istitsna yang terdapat pada ayat menunjukan bahwa Nabi dengan kehendak Allah bisa saja melupakan beberpa ayat, dan itu terjadi apabila dia tidak mendapatkan orang yang akan mengingatkanya.
  • Para Sahabat telah menghapus bebrapa bagian Al-Qur’an yang menurut mereka lebih baik dihapus, seperti ayat mut’ah, Ali ibn Abi Thalib telah menghapus keseluruhanya, sehingga dia memukul siapa saja yang membacanya. Begitu juga ayat do’a qunut (Allahumma inna nasta inuka…) yang ditulis oleh Ubayya ibn Ka’ab di dalam mushafnya tidak terdapat di mushaf sekarang.
  • Banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya bersumber dari hafalan para shabat, padahal sebagian dari mereka telah gugur dalam beberapa peperangan, sehingga Zaid ibn Tsabit hanya dapat mengumpulkan ayat-ayat yang di hafal oleh para sahabat yang masih hidup. Sedangkan yang tertulis di tulang-tulang dan media lain, ditulis tidak pakai aturan, lagipula sebagian telah hilang. Bila para Ulama mengatakan ada ayat-ayat yang secara lafzhi dinaskh, tetapi hukumnya tetap, suatu ungkapan yang aneh maka yang mereka maksud sebenarnya adalah media tulang tempat ayat tersebut ditulis telah hilang, dan yang tertinggal hanyalah pengertian ayat tesebut.
  • Untuk Bani Umayyah, Hajjaj memusnahkan semua mushaf yang ditulis di zaman Utsman kecuali satu mushaf yang kemudian ditambah dan dikuranginya sesuai dengan kepentingan Bani Ummayyah, sesudah itu menyalinya sebanyak enam naskah untuk dikirimkan ke propinsi-propinsi Islam pada waktu itu.
  • Ayat : “Tidaklah Muhammad itu kecuali seorang Rasul telah berlalu sebelumnya para rasul..” adalah kata-kata Abu Bakar yang di ucapkanya pada hari Tsaqifah. Begitu juga ayat : “Dan mereka menjadikan Maqam Ibrahim sebagi tempat shalat..” adalah ucapan Umar yang kemudian sewaktu pengumpulan AL-Qur’an dia di masukan ucapanya itu kedalam mushaf. 
 

Sumber : Buku Kuliah Ulumul Qur’an (Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., MA.)
ITIQAN PUBLISHING 2013

MERASA AMAN DARI SIKSA ALLAH سبحانه و تعالى DAN MEREMEHKAN DOSA

MERASA AMAN DARI SIKSA ALLAH سبحانه و تعالى DAN MEREMEHKAN DOSA Setiap dosa yang dilakukan oleh setiap hamba baik itu dosa kecil maup...